Pelari Yang Didiagnosa Tidak Bisa Berjalan



            Sebuah tubuh yang diberikan oleh yang Maha Kuasa adalah karunia yang paling berharga bagi diri. Lalu bagaimana jika terlahir dengan fisik yang mohon maaf bisa dibilang tidak sempurna atau mengalami gangguan ? Apakah sebaiknya tidak bersyukur akan pemberian Tuhan ini ? Atau malah menggugat dengan menyebut Tuhan yang tidak adil ? Kenapa banyak orang diberikan tubuh sempurna sedangkan aku tidak ? Hal ini yang bisa menjadikan diri seorang untuk cepat menyerah dan menerima keadaan.  

            Bagi seorang atlit pelari, kaki merupakan bagian paling utama untuk bisa berlari. Perlu kaki yang kuat dan cepat untuk bisa mencapai garis finish saat perlombaan. Tapi ini tidak terjadi pada Wilma Rudolph. Seorang perempuan yang terlahir sebagai ras kulit hitam yang tinggal di sebuah hutan terkecil Tennessee. Dirinya terlahir prematur dua bulan, hal ini membuatnya menjadi bayi kecil yang sakit-sakitan. Berat badannya waktu lahir dua kilogram lebih sedikit. Dia begitu lemah sehingga tak seorang pun yakin ia bisa untuk bertahan hidup.
            Memasuki umur 4 tahu, Wilma terkena banyak penyakit di tubuhnya. Cacar air, campak, gondok, radang paru-paru, serta polio. Penyakit yang menyerang tubuhnya ini, mengakibatkan salah satu kakinya lumpuh sebagian. Para dokter yang mengobatinya memprediksi bahwa Wilma tidak akan pernah bisa berjalan lagi.
            Sebagai warga kulit hitam, dirinya harus merasakan hal-hal yang tidak menyenangkan dari warga kulit putih. Salah satunya ia harus berobat di dokter berkulit hitam. Tidak bisa berobat di dokter kulit putih. Dan saat itu hanya ada satu dokter kulit hitam untuk seluruh penduduk kulit hitam di kotanya. Rumah sakit terdekat baginya ada di Nashville. Perjalanan yang ditempuh lebih dari satu jam. Bepergian dengan bis dua kali seminggu untuk mendapatkan perawatan bagi kakinya. Di rumah, keluarganya membantu mengurut kaku dan melatih kakinya yang lemah. Sementara Wilma membayangkan dirinya berjalan suatu hari nanti.
            Wilma muda akhirnya bisa merasakan sekolah di tengah kondisinya seperti ini. Dengan tongkat penyangga, ia harus selalu memakainya termasuk di sekolah. Namun, sekolah bukan tempat menyenangkan baginya. Beberapa teman kelasnya mengejek penyangga kaki yang digunakan. Ditinggalkan oleh temannya ketika mereka asik bermain di lapangan.
            Wilma hanya terus melatih kakinya yang lemah. Keluarganya terus menghiburnya dan memberi semangat. Wilma selalu yakin masih ada harapan baginya. Awalnya yang menjadi impiannya hanya untuk berjalan dan berlari. Tapi selanjutnya ia mimpi yang liar untuk menjadi atlet.
            Di sekolah menengah atas dirinya menjadi bintang tim bola basket dan atletik yang diikutinya. Kecepatan dan kelincahan yang dimilikinya menarik perhatian Ed Temple, pelatih atletik Universitas Negeri Tennessee. Pada tahun 1956, Wilma diundang untuk ikut mengikuti program atletik musim panas di kampus itu dan berlatih dengan atlit-atlit lainnya. Dirinya belajar bagaimana menggerakan lengan dan kakinya. Juga beberapa latihan khusus untuk membuatnya lebih kuat dan cepat.
            Setelah menyelesaikan dua tahun terakhir sekolah menengahnya, ia mendapat beasiswa atletik di Tennessee. Dirinya bekerja keras dan mengingat apa yang ia inginkan untuk berdiri di panggung juara di Olimpiade 1956. Ia menginginkan kesempatan lain untuk memenangkan medali emas Olimpiade.


            Pada Olimpiade 1960 di Roma, ia bertanding dengan seorang gadis Jerman bernama Jutta Henne. Belum ada yang bisa mengalahkan Jutta. Tapi, Wilma Rudolph bisa mengalahkan Jutta di nomer 100 meter.Tidak hanya memenangkan dan mendapatkan medali pertamanya, ia juga mencetak rekor dunia baru dalam waktu 11 detik. Ini hanya 0,8 detik lebih lambat dari dari rekor dunia pria.
            Wilma menjadi wanita Amerika pertama yang memenangkan tiga medali emas dalam Olimpiade di Roma ini. Ia adalah pelari tercepat selama 8 tahun dan beberapa kali memecahkan rekor dan mengalahkan atlet-atlet yang tidak terkalahkan.
            Jika saja Wilma memilih diam dan menerima kenyataan saat kecil bahwa ia tidak akan bisa berjalan kembali, mungkin dirinya tidak akan merasakan panggung juara Olimpiade. Ia lebih memilih untuk berlari. Berlari dari kenyataan. Menembus batas fisik dan pantang menyerah adalah jalan hidupnya. Hingga ia bisa merasakan suasana sejarah saat berdiri di panggung juara Olimpiade. 
“Tak bisa adalah dua kata yang tidak pernah ada dalam kosakataku”
Wilma Rudolph
           

Komentar